Halimun di pagi ini masih terasa kentara. Musim panas
telah datang membawa alur cerita baru. Trem telah sampai di pemberhentian yang
dituju oleh Althaf. Berbeda dari biasanya selepas shalat subuh ia menuju
Semenanjung Mornington menggunakan trem, salah satu transportasi umum di
Melbourne.
Althaf adalah mahasiswa internasional Aussi yang
baru di wisuda pasca sarjana beberapa pekan lalu. Rencananya pekan depan ia
pulang ke tanah air. Di semenanjung Mornington, dua bola matanya tak henti
melepas pandangan. Pedesaan tepi laut yang indah dan keindahan pantai yang
memanjakan matanya. Jika biasanya ia mengunjungi galeri dan taman nasional di Semenanjung
Mornington, kali ini ia lebih memilih mereguk indahnya pesona pedesaan tepi
laut dan pantai. Tak ada yang menarik hatinya, hanya saja bathinnya yang
mendesah mengkhawatirkan sesuatu. Kini di belakang namanya telah tersandang
gelar pendidikan yang dulu ia mimpikan, Akmal Althaf, Ph.d.
Tetapi ada hal yang membuatnya risau, sepulangnya ke
Indonesia pasti bunda dan ayah menanyakan kapan ia akan melepas kesendiriannya.
Sejak setahun lalu orang tuanya mendesak agar ia segera meminang wanita yang
akan menjadi pasangan hidupnya, di usianya yang saat ini menginjak 25 tahun
cukup matang baginya untuk menikah. Sekarang Althaf sudah merasa mantap dan
siap membangun mahligai rumah tangga yang di mimpikan semua orang. Namun siapa
yang akan dipinangnya?, itulah yang membuatnya risau. Selama kuliah di
Melbourne, tak ada satu pun wanita yang ia dekati. Begitu pula saat di
Indonesia ia tak pernah merajut cinta bersama seorang terkasih, karena
keputusannya dulu saat masih mengenyam perkuliahan S1 Althaf tak ingin menjalin hubungan yang
orang sebut pacaran. Bila pun harus ia labuhkan kecintaannya, ia memilih taaruf.
Kausa
Senarai Cinta di Pelupuk Surya
Tibalah kepulangannya ke Indonesia, suasana rumah
begitu ramai. Tak hanya sanak saudara yang nampak, namun beberapa temannya juga
hadir. Bunda dan ayah sengaja menggelar acara syukuran sederhana, dan Althaf
tidak mengetahui sebelumnya kalau bunda dan ayahnya akan menggelar acara
syukuran atas kepulangannya. Satu persatu semua menyalaminya dan Althaf
membalas tangan-tangan tulus yang menyalaminya, terkecuali yang bukan mahramnya.
Dalam acara itu hadir juga teman-teman Althaf sewaktu pengajian rutin malam.
Di penghujung acara saat semua membubarkan diri dan
berpamitan, ada seorang wanita yang menarik perhatiannya. Althaf mencoba
mengingat-ingat, sepertinya ia tak asing dengan sosoknya, entah siapa tapi ia
merasa sangat dekat. Esoknya sang ayah meminta Althaf mengantarkan beberapa
paket buku ke sebuah yayasan pendidikan karena ayahnya adalah salah satu
donatur tetap di yayasan tersebut.
‘’Assalamualaikum. Maaf, ada yang bisa saya bantu,
mas?’’, ucap seorang wanita seraya menyapa. Ia adalah salah satu staf pengajar
di yayasan tersebut.
Althaf yang mendengarnya segera menjawab salam dan
mengangkat pandangannya dari yang awalnya tertunduk menatap layar telepon
genggamnya yang bergetar karena sebuah pesan masuk, menjadi tengadah.
‘’Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh..’’,
sahut Althaf sambil mengangkat pandangannya.
Bukankah ia
wanita yang kemarin membuatku berpikir keras untuk mengingatnya, dan sekarang..oh
Allah!, bathin Althaf. Lalu ia menyampaikan maksud
kedatangannya dan terciptalah sekelumit obrolan diantara keduanya. Semakin
lama, entah kenapa bathin Althaf terasa kian bergemuruh. Sesekali ia
mengalihkan pandangannya untuk menjaga pandangan dan syahwat yang bisa datang
kapan saja. Usai pertemuan itu Althaf mencari tahu tentang wanita itu, ia
enggan menanyakan langsung siapa namanya hanya karena ia lupa dan terlebih Althaf
takut menyinggung perasaannya.
‘’Namanya Annisa, kenapa Thaf?. Kamu menyimpan
pendar pada gadis itu ya, nak?’’, ujar Ayahnya sambil mendekat duduk di samping
Althaf.
Beberapa saat ayahnya menatap lekat Althaf,
memperhatikan sikap dan tingkah putera pertamanya. Althaf tak menjawab ayahnya,
tatapannya terpaku dan pikirannya melanglang buana. Entah kemana dan apa yang
di pikirkannya.
‘’Ya sudah, kalau sudah yakin segera kau pinang dia
ya!’’, ucap Ayahnya menggoda sembari tersenyum diikuti tangannya yang menepuk bahu
Althaf.
‘’Naam, insyaAllah yah. Althaf segera kumpulkan
maharnya jika memang ia bidadari yang Allah takdirkan untukku. Doakan Althaf
ya, yah!’’, seru Althaf pada ayahnya
yang telah kembali dari lamunannya.
Saat mengatakannya, tak segores pun raut canda yang
menyelimutinya. Althaf menyampaikan pada ayahnya seolah lebih dari kata serius.
Ayahnya yang mendengar jawaban puteranya segera meraih lengan anaknya yang
pamit dan beranjak sambil mendekap mushafnya.
‘’Sungguh apa yang baru saja engkau ucapkan barusan
pada ayah, nak?’’, tanya ayahnya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya.
Althaf tak menguraikan jawaban seperti yang diharapkan ayahnya, ia hanya
menganggukan kepalanya sembari tersenyum.
Dalam
Mihrab Cinta Sang Maha Cinta
Tepat selepas subuh Althaf di dampingi Ibunya dan Almira
adik perempuannya, menuju kediaman Annisa dengan mengendarai Toyyota Fortunner
milik ayahnya. Althaf menyengaja pergi selepas subuh, karena jika agak siang
khawatir Annisa telah pergi mengajar.
Sesampainya di halaman rumah Annisa, Althaf terdiam
sebentar. Ia mengatur nafasnya hingga tiga kali. Melihat sikap kakaknya yang
mulai salah tingkah Almira langsung menarik lengan kakaknya sampai ke bibir
pintu dan mengetuk pintu itu dengan sopan. Dua menit berlalu akhirnya pintu terbuka,
entah kebetulan entah memang takdirnya. Yang membukakan pintu adalah Annisa.
Setelah di persilahkan masuk pembicaraan pun di mulai.
‘’Nak Annisa, Althaf ini ingin menyampaikan suatu
hal kepada nak Annisa. Ayo Nak! silahkan sampaikan..’’, ucap Ibunya sambil
meletakkan telapak tangannya di paha Althaf dan menariknya kembali.
Setelah di persilahkan ibunya Althaf mencoba untuk
tetap tenang, stay cool dalam
istigfhar yang membentenginya. Dan ia pun menyampaikan maksud kedatangannya
setelah lebih dulu mengucapkan basmallah dalam hatinya.
‘’Begini ukhti, kedatangan saya kemari adalah untuk
meminangmu menjadi bidadari dalam hidupku. Afwan, jika mendadak. Tapi saya
tidak ingin hati dan jiwa ini memandangmu dalam ketidak halalan. Bagaimana?’’,
ujar Althaf menyampaikan dengan sedikit gugup.
Annisa yang mendengarnya bak tersambar halilintar. Lidahnya
kelu harus menjawab apa, lalu ia pamit sebentar dan kembali lagi bersama ibunya.
Dibelakang tadi Annisa telah menceritakan kepada ibunya perihal Althaf dan
pinangannya.
‘’Antum serius dengan ucapannya?. Apa bukti
kesungguhan antum?, yakinkan ana untuk menerima pinangannya..’’, ucap Annisa
sambil menggenggam erat tangan ibunya yang tengah duduk di sampingnya.
‘’Ana sudah mempersiapkan maharnya sejak saat bayang-bayang
ukhti kerap berkelebat dalam sujudku, rukuku, dan saat rengkuhmu tiba-tiba
hadir dalam bayangku membuat kalbu ini tak menentu dan tak terkendali selepas
isya selama ribuan detik. Jika memang ukhti bersedia, minggu depan nanti ana
siap untuk mengkhitbah’’, jawab Althaf tanpa ingin berlama-lama memandang wajah
yang belum halal untuknya.
Mendengarnya, Annisa menitikkan air mata dan memeluk
erat ibunya lalu menyatakan dirinya bersedia untuk Althaf pinang. Dan pula
Annisa telah mengenal Althaf sewaktu masa pengajian rutin malam. Almira dan
Ibunya yang menyaksikan suasana yang haru membiru ikut menangis bahagia.
Tibalah masa yang dinanti, jumat malam selepas isya
Althaf menuju kediaman Annisa bersama orang tua, keluarga, dan penghulu. Setibanya
disana Annisa dan keluarganya pun telah siap menyambut kedatangan Althaf dan
rombongannya. Di mesjid Al-Muhajirin yang jaraknya tak jauh dari rumah Annisa,
disanalah sejarah terukir dan para malaikat mendoakan. Ketika kalimat akad yang
di ucapkan dalam satu tarikan nafas itu bukan lagi mimpi dan harapan, Althaf
mengucapkan kalimat akad itu dalam bahasa Arab dengan lancar tanpa mengulang.
Setelah kata sah bergeming di seluruh penjuru, semua
yang menyaksikan tersenyum bahagia, ada yang berpelukan, dan ada pula yang
meneteskan air mata bahagia. Resepsi akan di gelar setelahnya, dan dua hari
setelah akad Althaf memboyong Annisa ke Mecca kota tersuci bagi umat islam di
seluruh dunia, dengan tiket pemberangkatan yang telah disiapkan minggu yang
lalu. Di Mecca, di tempat itulah keduanya melaksanakan sunnah Rasullallah
sebagai sepasang suami istri. Rambut yang tergerai indah, wajah yang manis dan
senyum yang memesona dengan halal Althaf melepas pandangan dan menyentuhnya.
‘’Dik Annisa, Allah telah memilihmu untuk menjadi
bidadariku dan ibu dari anak-anakku. Kidung cintaku padaNya berlabuh di dermaga
hatimu, mari kita tunaikan dua rakaat dulu kepada sang Maha Cinta..’’, ucap
Althaf.
‘’Mmm...’’, desau Annisa yang masih bingung
memanggil suaminya.
‘’Panggil saja ‘Mas’, dik. Coba panggil..’’, jawab
Althaf dengan pengertian.
‘’Iya, Mas Althaf.. mari kita tunaikan dua rakaat
dengan berjamaah, imamku’’, ucap Annisa mencoba mengatasi kegugupan dengan
cintaNya.
Tasikmalaya,
07 Desember 2013
Buah pena Annisa Anita Dewi (Ami Kautsar)
No comments:
Post a Comment