Thursday, December 19, 2013

SENARAI CINTA, MAHAR UNTUK ANNISA

Halimun di pagi ini masih terasa kentara. Musim panas telah datang membawa alur cerita baru. Trem telah sampai di pemberhentian yang dituju oleh Althaf. Berbeda dari biasanya selepas shalat subuh ia menuju Semenanjung Mornington menggunakan trem, salah satu transportasi umum di Melbourne.
Althaf adalah mahasiswa internasional Aussi yang baru di wisuda pasca sarjana beberapa pekan lalu. Rencananya pekan depan ia pulang ke tanah air. Di semenanjung Mornington, dua bola matanya tak henti melepas pandangan. Pedesaan tepi laut yang indah dan keindahan pantai yang memanjakan matanya. Jika biasanya ia mengunjungi galeri dan taman nasional di Semenanjung Mornington, kali ini ia lebih memilih mereguk indahnya pesona pedesaan tepi laut dan pantai. Tak ada yang menarik hatinya, hanya saja bathinnya yang mendesah mengkhawatirkan sesuatu. Kini di belakang namanya telah tersandang gelar pendidikan yang dulu ia mimpikan, Akmal Althaf, Ph.d.
Tetapi ada hal yang membuatnya risau, sepulangnya ke Indonesia pasti bunda dan ayah menanyakan kapan ia akan melepas kesendiriannya. Sejak setahun lalu orang tuanya mendesak agar ia segera meminang wanita yang akan menjadi pasangan hidupnya, di usianya yang saat ini menginjak 25 tahun cukup matang baginya untuk menikah. Sekarang Althaf sudah merasa mantap dan siap membangun mahligai rumah tangga yang di mimpikan semua orang. Namun siapa yang akan dipinangnya?, itulah yang membuatnya risau. Selama kuliah di Melbourne, tak ada satu pun wanita yang ia dekati. Begitu pula saat di Indonesia ia tak pernah merajut cinta bersama seorang terkasih, karena keputusannya dulu saat masih mengenyam perkuliahan  S1 Althaf tak ingin menjalin hubungan yang orang sebut pacaran. Bila pun harus ia labuhkan kecintaannya, ia memilih taaruf.


Kausa Senarai Cinta di Pelupuk Surya
Tibalah kepulangannya ke Indonesia, suasana rumah begitu ramai. Tak hanya sanak saudara yang nampak, namun beberapa temannya juga hadir. Bunda dan ayah sengaja menggelar acara syukuran sederhana, dan Althaf tidak mengetahui sebelumnya kalau bunda dan ayahnya akan menggelar acara syukuran atas kepulangannya. Satu persatu semua menyalaminya dan Althaf membalas tangan-tangan tulus yang menyalaminya, terkecuali yang bukan mahramnya. Dalam acara itu hadir juga teman-teman Althaf sewaktu pengajian rutin malam.
Di penghujung acara saat semua membubarkan diri dan berpamitan, ada seorang wanita yang menarik perhatiannya. Althaf mencoba mengingat-ingat, sepertinya ia tak asing dengan sosoknya, entah siapa tapi ia merasa sangat dekat. Esoknya sang ayah meminta Althaf mengantarkan beberapa paket buku ke sebuah yayasan pendidikan karena ayahnya adalah salah satu donatur tetap di yayasan tersebut.
‘’Assalamualaikum. Maaf, ada yang bisa saya bantu, mas?’’, ucap seorang wanita seraya menyapa. Ia adalah salah satu staf pengajar di yayasan tersebut.
Althaf yang mendengarnya segera menjawab salam dan mengangkat pandangannya dari yang awalnya tertunduk menatap layar telepon genggamnya yang bergetar karena sebuah pesan masuk, menjadi tengadah.
‘’Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh..’’, sahut Althaf sambil mengangkat pandangannya.
Bukankah ia wanita yang kemarin membuatku berpikir keras untuk mengingatnya, dan sekarang..oh Allah!, bathin Althaf. Lalu ia menyampaikan maksud kedatangannya dan terciptalah sekelumit obrolan diantara keduanya. Semakin lama, entah kenapa bathin Althaf terasa kian bergemuruh. Sesekali ia mengalihkan pandangannya untuk menjaga pandangan dan syahwat yang bisa datang kapan saja. Usai pertemuan itu Althaf mencari tahu tentang wanita itu, ia enggan menanyakan langsung siapa namanya hanya karena ia lupa dan terlebih Althaf takut menyinggung perasaannya.
‘’Namanya Annisa, kenapa Thaf?. Kamu menyimpan pendar pada gadis itu ya, nak?’’, ujar Ayahnya sambil mendekat duduk di samping Althaf.
Beberapa saat ayahnya menatap lekat Althaf, memperhatikan sikap dan tingkah putera pertamanya. Althaf tak menjawab ayahnya, tatapannya terpaku dan pikirannya melanglang buana. Entah kemana dan apa yang di pikirkannya.
‘’Ya sudah, kalau sudah yakin segera kau pinang dia ya!’’, ucap Ayahnya menggoda sembari tersenyum diikuti tangannya yang menepuk bahu Althaf.
‘’Naam, insyaAllah yah. Althaf segera kumpulkan maharnya jika memang ia bidadari yang Allah takdirkan untukku. Doakan Althaf ya, yah!’’, seru Althaf  pada ayahnya yang telah kembali dari lamunannya.
Saat mengatakannya, tak segores pun raut canda yang menyelimutinya. Althaf menyampaikan pada ayahnya seolah lebih dari kata serius. Ayahnya yang mendengar jawaban puteranya segera meraih lengan anaknya yang pamit dan beranjak sambil mendekap mushafnya.
‘’Sungguh apa yang baru saja engkau ucapkan barusan pada ayah, nak?’’, tanya ayahnya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya.
Althaf tak menguraikan jawaban  seperti yang diharapkan ayahnya, ia hanya menganggukan kepalanya sembari tersenyum.
Dalam Mihrab Cinta Sang Maha Cinta
Tepat selepas subuh Althaf di dampingi Ibunya dan Almira adik perempuannya, menuju kediaman Annisa dengan mengendarai Toyyota Fortunner milik ayahnya. Althaf menyengaja pergi selepas subuh, karena jika agak siang khawatir Annisa telah pergi mengajar.
Sesampainya di halaman rumah Annisa, Althaf terdiam sebentar. Ia mengatur nafasnya hingga tiga kali. Melihat sikap kakaknya yang mulai salah tingkah Almira langsung menarik lengan kakaknya sampai ke bibir pintu dan mengetuk pintu itu dengan sopan. Dua menit berlalu akhirnya pintu terbuka, entah kebetulan entah memang takdirnya. Yang membukakan pintu adalah Annisa. Setelah di persilahkan masuk pembicaraan pun di mulai.
‘’Nak Annisa, Althaf ini ingin menyampaikan suatu hal kepada nak Annisa. Ayo Nak! silahkan sampaikan..’’, ucap Ibunya sambil meletakkan telapak tangannya di paha Althaf dan menariknya kembali.
Setelah di persilahkan ibunya Althaf mencoba untuk tetap tenang, stay cool dalam istigfhar yang membentenginya. Dan ia pun menyampaikan maksud kedatangannya setelah lebih dulu mengucapkan basmallah dalam hatinya.
‘’Begini ukhti, kedatangan saya kemari adalah untuk meminangmu menjadi bidadari dalam hidupku. Afwan, jika mendadak. Tapi saya tidak ingin hati dan jiwa ini memandangmu dalam ketidak halalan. Bagaimana?’’, ujar Althaf menyampaikan dengan sedikit gugup.
Annisa yang mendengarnya bak tersambar halilintar. Lidahnya kelu harus menjawab apa, lalu ia pamit sebentar dan kembali lagi bersama ibunya. Dibelakang tadi Annisa telah menceritakan kepada ibunya perihal Althaf dan pinangannya.
‘’Antum serius dengan ucapannya?. Apa bukti kesungguhan antum?, yakinkan ana untuk menerima pinangannya..’’, ucap Annisa sambil menggenggam erat tangan ibunya yang tengah duduk di sampingnya.
‘’Ana sudah mempersiapkan maharnya sejak saat bayang-bayang ukhti kerap berkelebat dalam sujudku, rukuku, dan saat rengkuhmu tiba-tiba hadir dalam bayangku membuat kalbu ini tak menentu dan tak terkendali selepas isya selama ribuan detik. Jika memang ukhti bersedia, minggu depan nanti ana siap untuk mengkhitbah’’, jawab Althaf tanpa ingin berlama-lama memandang wajah yang belum halal untuknya.
Mendengarnya, Annisa menitikkan air mata dan memeluk erat ibunya lalu menyatakan dirinya bersedia untuk Althaf pinang. Dan pula Annisa telah mengenal Althaf sewaktu masa pengajian rutin malam. Almira dan Ibunya yang menyaksikan suasana yang haru membiru ikut menangis bahagia.
Tibalah masa yang dinanti, jumat malam selepas isya Althaf menuju kediaman Annisa bersama orang tua, keluarga, dan penghulu. Setibanya disana Annisa dan keluarganya pun telah siap menyambut kedatangan Althaf dan rombongannya. Di mesjid Al-Muhajirin yang jaraknya tak jauh dari rumah Annisa, disanalah sejarah terukir dan para malaikat mendoakan. Ketika kalimat akad yang di ucapkan dalam satu tarikan nafas itu bukan lagi mimpi dan harapan, Althaf mengucapkan kalimat akad itu dalam bahasa Arab dengan lancar tanpa mengulang.
Setelah kata sah bergeming di seluruh penjuru, semua yang menyaksikan tersenyum bahagia, ada yang berpelukan, dan ada pula yang meneteskan air mata bahagia. Resepsi akan di gelar setelahnya, dan dua hari setelah akad Althaf memboyong Annisa ke Mecca kota tersuci bagi umat islam di seluruh dunia, dengan tiket pemberangkatan yang telah disiapkan minggu yang lalu. Di Mecca, di tempat itulah keduanya melaksanakan sunnah Rasullallah sebagai sepasang suami istri. Rambut yang tergerai indah, wajah yang manis dan senyum yang memesona dengan halal Althaf melepas pandangan dan menyentuhnya.
‘’Dik Annisa, Allah telah memilihmu untuk menjadi bidadariku dan ibu dari anak-anakku. Kidung cintaku padaNya berlabuh di dermaga hatimu, mari kita tunaikan dua rakaat dulu kepada sang Maha Cinta..’’, ucap Althaf.
‘’Mmm...’’, desau Annisa yang masih bingung memanggil suaminya.
‘’Panggil saja ‘Mas’, dik. Coba panggil..’’, jawab Althaf dengan pengertian.
‘’Iya, Mas Althaf.. mari kita tunaikan dua rakaat dengan berjamaah, imamku’’, ucap Annisa mencoba mengatasi kegugupan dengan cintaNya.


Tasikmalaya, 07 Desember 2013
Buah pena Annisa Anita Dewi (Ami Kautsar)

No comments:

Post a Comment

Ordinary

7 Cara untuk Ibu Hindari Stunting: Penderita Stunting Indonesia 35,6% Melebihi Batas Maksimal

Hati-hati pada stunting terutama pasangan muda! Beberapa hal yang sederhana namun sangat penting dan berpengaruh acapkali diabaik...