Tuesday, February 11, 2014

AL-KHILM SAMPAI AL-GHOROOM

‘’Cukup! Lupakan semua tentang kita. Tidak ada lagi kenangan antara kau dan aku’’, tukas Amira padaku.
Kalimat itu masih jelas membayang dalam ingatanku dan tak pernah memudar. Januari lalu ia melesatkan kata-kata kejam itu, mengingatnya bathin ini terasa sakit. Air mata pun jatuh tak terelakan. Saat sebelum peristiwa itu terjadi, kita masih beraktivitas, makan, hangout bersama, melakukan ritual persahabatan. Dan pada 11 Januari siang, bumi persahabatan itu runtuh.
Tiga tahun yang susah untukku, menjaga sebuah persahabatan dengan Amira. Pahit, asam, garam kehidupan bersamanya. Saling menguatkan, saling meminjamkan bahu dan dada, menjadi tempat curhat setiap malam yang penuh kegelisahan, menjadikan kami seperti saudara meski tanpa satu darah mengikat. Memamerkan kebersamaan dan kemesraan sahabat kepada dunia, kalau kita adalah dua sahabat yang tak terpisahkan.
Sampai sesuatu pun terjadi. Entah apa yang merasuki pikiran Amira, ia berubah. Sikap acuh di tampakannya. Ia mulai berani membaca buku harianku padahal ia tahu itu privasi, dan setiap orang memerlukan privasi untuk kredibilitas dan kenyamanannya. Jauh dahulu sebelum bumi persahabatan runtuh, kita berjanji satu sama lain untuk saling menguatkan, dan menceritakan tentang masalah dan kegelisahan, tetapi kita tidak boleh membuka apalagi membaca buku harian masing-masing.
Amira selalu menyimpan rapat buku hariannya,untuk menyentuhnya saja ia tunjukan ketidakrelaannya, dan seonggok rasa takut. Tapi kali ini, ia membuka bahkan membaca buku harianku. Saat kalimat demi kalimat yang kutuangkan terbaca, rasanya seperti kehilangan harga diri, seperti di telanjangi, dan semua prasangka, ribuan macam pikiran menggelayut dalam bathinku. Lama aku termenung, tapi aku tak ingin persahabatanku dengan Amira koyak begitu saja. Aku mencoba mempertahankan, mengibarkan kidung kesabaran, memberinya kepercayaan kembali juga kesempatan. Dan berharap ini menjadikannya pelajaran berharga.
Ini bukan yang diinginkan semua orang, bahkan setiap sahabat di belahan bumi ini. Saat persahabatan yang di bangun bertahun-tahun dengan susah payah-kebersamaan dan kasih sayang, mengukir kenangan di setiap jalannya, tercerai berai begitu saja meninggalkan luka, sesal, dan tangis. Amira mengkhianatinya, bahkan dalam setiap hal ia tak pernah ingin kalah dan selalu menganggap sebuah persaingan.
‘’Lepaskan tanganku, Zaira! Aku bukan lagi sahabatmu! Sampai disini saja persahabatan kita’’, ucap Amira dengan nada tinggi dan emosi membara.
‘’Kamu benci sama aku? Fine! Apa alasannya kau mengkhianati dan menghancurkan persahabatan kita? Kasih tahu aku! Tapi kamu harus tahu, kamu boleh membenciku tapi aku tidak akan pernah membencimu dan akan selalu memberikan yang terbaik dan cinta untukmu sahabatku. Pintu hatiku selalu terbuka jika kamu ingin kembali’’, balasku sambil melepaskan tangan Amira.
Sepenggal percakapan pada 11 Januari lalu yang sempat ku tuliskan dalam harianku. Hingga saat ini, bulir air mata selalu luruh dengan sendirinya saat mengingat memori kenangan yang pernah terukir bersama Amira dalam labirin waktu. Jika memang harus ada yang membenci dan terluka, itu adalah aku. Tapi aku tak menghiraukan lukaku untuk mencerai berai persahabatan antara aku dengannya.
Seandainya kau katakan:’’Injakkanlah kakimu ke bara api’’
atau ‘’Jangan berhubungan lagi denganku’’
sedang kutahu bahwa itu keinginanmu
tentulah aku lebih memilih menginjakan kaki ke bara api
untuk memuaskanmu atau memang kamu sedang keblinger
Jika aku menderita,
Karena mendapat perlakuan yang buruk darimu,
Maka sebaliknya aku merasa senang, karena mendapat perhatian darimu
 Sepenggal syair karya Abdullah bin Ad-Daminah yang menggambarkan setitik embun perasaanku. Dan seperti dalam syair itu, aku akan melakukannya untuk mempertahankan persahabatanku dengan Amira. Namun entah bagaimana ia sekarang, aku tak bisa mendapatinya. Namanya, jiwanya, dan keberadaannya seperti tenggelam tertelan bumi.
‘’Duhai Tuhanku yang Esa, aku merindukannya. Berikanlah jalan yang terbaik. Dan bila memang ia adalah sahabat yang baik untukku, maka kembalikanlah, satukanlah kami dalam ukhuwahMu’’, #MyPray.  
Dan ku labuhkan kerinduan, doa, dan cintaku untuk sahabatku dalam dermaga sepertiga malam dimana aku memuji Tuhanku. Januari menjadi kenangan terakhir antara aku dengannya. My besties, sampai jumpa di gerbang kesuksesan meski jalan yang kita pilih berbeda.




Tasikmalaya, Serambi Hijau
Januari  2014
2:42
Annisa Anita Dewi

sumber Foto: http://ida-diah-c.blog.ugm.ac.id/category/just-words/

Wednesday, February 05, 2014

SERAMBI HIJAU

Menjadi saksi bisu dalam diam
Ia tak hidup, tapi keindahannya membuatku hidup
Menjadi saksi lahirnya selaksa karya
Ia bisikkan senandung perjuangan

Ia adalah Serambi Hijau,
Yang membisikkan semangat dalam dada
Mengubah putihnya secarik kertas
Menjadi karya bertabur makna biaskan keindahan

Ia lemparkan indah memesona
Merengkuhku dalam labirin waktu

Dan ia bisikkan, ayat-ayat kehidupan..


Tasikmalaya, 29 November 2013
17:25
Annisa Anita D

Ordinary

7 Cara untuk Ibu Hindari Stunting: Penderita Stunting Indonesia 35,6% Melebihi Batas Maksimal

Hati-hati pada stunting terutama pasangan muda! Beberapa hal yang sederhana namun sangat penting dan berpengaruh acapkali diabaik...