Makan? Makanan? Itu merupakan kebutuhan primer yang
tidak bisa tidak. Selama student exchange ke Negeri Gajah Putih kemarin ada
cerita tentang sisa-sisa foodies. Tulisan ini dibuat bukan dengan maksud pamer
atau apalah-apalah yang saat ini berkecamuk dalam pikiran anda. Just share about real experience atau
setidaknya sebagai informasi untuk anda atau bahkan dapat menjadi referensi, please posthink guys!
Saat student
exchanges di Thailand beberapa waktu lalu atau lebih tepatnya sebenarnya
pada 2015 lalu, yang baru-baru sangat disadarinya sekarang-sekarang ini. Tapi
bukannya tidak ada kata terlambat bukan? Well,
jadi sebenarnya... eh tunggu dulu. Kita sebagai manusia yang notabene-nya omnivora, sekaligus bahwa makanan adalah kebutuhan primer yang artinya sebagai
sumber energi untuk bisa beraktivitas, benar?
Saya anggap, anda setuju dan sependapat dengan saya.
Semua orang rata-rata suka dengan kuliner. Mungkin anda salah
satunya, yang tiap kali liat gambar atau video makanan bawaannya langsung
ngiler kemudian tanpa nunggu lama langsung hunting
makanan. Sudahlah mengaku saja, jika iya.
So, saat itu selama
hampir lima bulan tinggal, bermukim, bergerilya, survive, dan hidup di negeri Gajah Putih, lebih tepatnya di Thai
Selatan. Ketika bulan ketiga, saat kegiatan Sukan Warna di sekolah tempat saya
mengajar sekaligus belajar, di Mulnithi Chumchon Islam Seuksa Foundation School
Thailand. Istilah Sukan Warna mungkin di Indonesia bisa di bilang semacam
festival sekolah sekaligus Pensi, tapi perayaan di sana lebih excited kalau menurut saya.
By the way, soal Suka Warna
nanti bakal dibahas lebih eksplisit di tulisan atau bab selanjutnya. Jadi,
selain makanan pokok seerti nasi, ada beberapa makanan yang saya temui, dan
saya rasai tentunya. Makanan atau
jajanan ini menduduki rating kedua
setelah lu’ching yang menduduki peringkat pertama yang paling saya suka.
Tapi sayangnya, saya lupa apa nama asli bahasa Thainya
jajanan ini. Saya sudah coba searching,
googling tapi tidak juga
menemukannya. Umumnya para traveler dan foodies hanya tahu yang universal
seperti Tom Yam dan Som Tam. Terkadang para foodies dan traveler hanya
memosting gambar tanpa memberi keterangan makanan apa ini atau yang paling
penting soal nomenklatur makanan tersebut yang pastinya menjadi identitas
makanan tersebut. Adapula foodies atau traveler yang hanya memberikan “ini
makanan yang saya pesan di kedai anu” tanpa sempat bertanya atau menuliskan apa
sih itu?
Sekali lagi, I
apologize... lupa benar-benar lupa namanya apa, usaha tanya-tanya teman
juga sudah dan hasilnya mereka pun sama-sama lupa. Setelah di telisik lebih
jauh makanan ini mirip dengan seblak di Indonesia. Hanya saja perbedaanya dalam
bahan-bahannya. Semoga saja informasi ini bisa jadi referensi khususnya bagi
penggemar seblak apalagi pedas yang saat ini menjamur dimana-mana, bahwa
indikator sehat itu perlu dipikirkan sebagai imbas jangka panjang.
Ini dia yang sampai detik ini
masih belum ingat apa namanya. Jadi pembelajaran berharga, kemana pun bawa
selalu kamera, dan interview itu
penting, pastinya di rekam dong ya. Atau setidaknya anda bawa notes. Pengalaman
ketika student exchanges selain mengajar, salah satunya ini menemukan jenis
makanan yang mirip dengan di Indonesia.
Dilihat
dari sajiannya mirip seblak di Indonesia, bedanya : pertama, bahan-bahan dari
makanan ini terdiri dari sawi putih yang masih muda, sosis, baso, lu’ceeng, wortel, mie/ mama, sayuran yang entah apa
namanya, dan semacam rumput laut. Sedangkan seblak, bahannya terdiri dari…
sebenarnya macam-macam bahannya tergantung gimana penjual seblaknya,
bahan-bahan seblak awalnya hanya kerupuk dengan campuran telur, tetapi saat ini
lebih bervariasi ada mie, kerupuk, tulang, ceker, baso, sosis, cilok, dan
sebagainya.
Kemudian
yang membedakannya kedua, bumbu. Jika di Thai, rasanya pedas asem yang bisa
dibayangkan nyegerin, cara memasaknya
hanya di celup ke air panas sebentar seperti proses menyajikan mie baso di
Indonesia, jadi terhindar dari kolestrol dan lemak berlebih lainnya. Sedangkan jika
seblak, bumbunya terdiri dari rempah-rempah terutama bawang putih dan kencur
kemudian di goreng bersama telur yang telah dikocok terlebih dahulu dan
dimasukkan bahan-bahan yang diinginkan.
Jadi
benang merah yang dapat diambil dari real
experience ketika student exchange, bahwa kemana pun anda pergi pasti akan
banyak hal yang terjadi dan diantaranya momen-momen tersebut dapat menjadi
titik tolak pada masa yang akan datang. Misalnya, makanan bisa menjadi
referensi untuk perbandingan yang bisa diambil positifnya, atau bahkan menjadi
inovasi baru, cita rasa baru.