‘’Cukup!
Lupakan semua tentang kita. Tidak ada lagi kenangan antara kau dan aku’’, tukas
Amira padaku.
Kalimat
itu masih jelas membayang dalam ingatanku dan tak pernah memudar. Januari lalu
ia melesatkan kata-kata kejam itu, mengingatnya bathin ini terasa sakit. Air
mata pun jatuh tak terelakan. Saat sebelum peristiwa itu terjadi, kita masih beraktivitas,
makan, hangout bersama, melakukan
ritual persahabatan. Dan pada 11 Januari siang, bumi persahabatan itu runtuh.
Tiga
tahun yang susah untukku, menjaga sebuah persahabatan dengan Amira. Pahit,
asam, garam kehidupan bersamanya. Saling menguatkan, saling meminjamkan bahu
dan dada, menjadi tempat curhat setiap malam yang penuh kegelisahan, menjadikan
kami seperti saudara meski tanpa satu darah mengikat. Memamerkan kebersamaan
dan kemesraan sahabat kepada dunia, kalau kita adalah dua sahabat yang tak
terpisahkan.
Sampai
sesuatu pun terjadi. Entah apa yang merasuki pikiran Amira, ia berubah. Sikap acuh
di tampakannya. Ia mulai berani membaca buku harianku padahal ia tahu itu
privasi, dan setiap orang memerlukan privasi untuk kredibilitas dan
kenyamanannya. Jauh dahulu sebelum bumi persahabatan runtuh, kita berjanji satu
sama lain untuk saling menguatkan, dan menceritakan tentang masalah dan
kegelisahan, tetapi kita tidak boleh membuka apalagi membaca buku harian
masing-masing.
Amira
selalu menyimpan rapat buku hariannya,untuk menyentuhnya saja ia tunjukan
ketidakrelaannya, dan seonggok rasa takut. Tapi kali ini, ia membuka bahkan
membaca buku harianku. Saat kalimat demi kalimat yang kutuangkan terbaca,
rasanya seperti kehilangan harga diri, seperti di telanjangi, dan semua
prasangka, ribuan macam pikiran menggelayut dalam bathinku. Lama aku termenung,
tapi aku tak ingin persahabatanku dengan Amira koyak begitu saja. Aku mencoba
mempertahankan, mengibarkan kidung kesabaran, memberinya kepercayaan kembali juga
kesempatan. Dan berharap ini menjadikannya pelajaran berharga.
Ini
bukan yang diinginkan semua orang, bahkan setiap sahabat di belahan bumi ini. Saat
persahabatan yang di bangun bertahun-tahun dengan susah payah-kebersamaan dan
kasih sayang, mengukir kenangan di setiap jalannya, tercerai berai begitu saja
meninggalkan luka, sesal, dan tangis. Amira mengkhianatinya, bahkan dalam
setiap hal ia tak pernah ingin kalah dan selalu menganggap sebuah persaingan.
‘’Lepaskan
tanganku, Zaira! Aku bukan lagi sahabatmu! Sampai disini saja persahabatan
kita’’, ucap Amira dengan nada tinggi dan emosi membara.
‘’Kamu
benci sama aku? Fine! Apa alasannya
kau mengkhianati dan menghancurkan persahabatan kita? Kasih tahu aku! Tapi kamu
harus tahu, kamu boleh membenciku tapi aku tidak akan pernah membencimu dan
akan selalu memberikan yang terbaik dan cinta untukmu sahabatku. Pintu hatiku
selalu terbuka jika kamu ingin kembali’’, balasku sambil melepaskan tangan
Amira.
Sepenggal
percakapan pada 11 Januari lalu yang sempat ku tuliskan dalam harianku. Hingga saat
ini, bulir air mata selalu luruh dengan sendirinya saat mengingat memori
kenangan yang pernah terukir bersama Amira dalam labirin waktu. Jika memang
harus ada yang membenci dan terluka, itu adalah aku. Tapi aku tak menghiraukan
lukaku untuk mencerai berai persahabatan antara aku dengannya.
Seandainya kau
katakan:’’Injakkanlah kakimu ke bara api’’
atau ‘’Jangan berhubungan lagi
denganku’’
sedang kutahu bahwa itu keinginanmu
tentulah aku lebih memilih
menginjakan kaki ke bara api
untuk memuaskanmu atau memang kamu
sedang keblinger
Jika aku menderita,
Karena mendapat perlakuan yang
buruk darimu,
Maka sebaliknya aku merasa senang,
karena mendapat perhatian darimu
Sepenggal syair karya Abdullah bin Ad-Daminah
yang menggambarkan setitik embun perasaanku. Dan seperti dalam syair itu, aku
akan melakukannya untuk mempertahankan persahabatanku dengan Amira. Namun entah
bagaimana ia sekarang, aku tak bisa mendapatinya. Namanya, jiwanya, dan
keberadaannya seperti tenggelam tertelan bumi.
‘’Duhai Tuhanku yang Esa, aku merindukannya.
Berikanlah jalan yang terbaik. Dan bila memang ia adalah sahabat yang baik
untukku, maka kembalikanlah, satukanlah kami dalam ukhuwahMu’’, #MyPray.
Dan
ku labuhkan kerinduan, doa, dan cintaku untuk sahabatku dalam dermaga sepertiga
malam dimana aku memuji Tuhanku. Januari menjadi kenangan terakhir antara aku
dengannya. My besties, sampai jumpa
di gerbang kesuksesan meski jalan yang kita pilih berbeda.
Tasikmalaya, Serambi Hijau
Januari 2014
2:42
Annisa Anita Dewi
sumber Foto: http://ida-diah-c.blog.ugm.ac.id/category/just-words/
No comments:
Post a Comment