Kita
tidak pernah tahu takdir Tuhan yang manakah yang terbaik untuk kita. Dinamika
kehidupan yang terus melangkah kedepan seperti misteri yang tidak akan pernah
tepat di prediksi atau sesempurna rencana yang digambarkan. Satu hal yang pasti
segalanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta dengan rencana
terbaiknya.
Pada
Juni 2015 lalu saya berkesempatan mengaplikasikan pengalaman, ilmu, pengetahuan
dan wawasan di Negeri Gajah Putih, yang dikenal dengan Negara Thailand. Tidak
ada persiapan yang sangat matang. Saya mempersiapkan keberangkatan ke Negeri
Gajah Putih kurang lebih selama satu bulan.
Selama
satu bulan saya ke sana ke mari mengurus berbagai persyaratan. Adapun paspor
adalah bagian yang terpenting dari segalanya. Setelah paspor selanjutnya
mempersiapkan Visa. Kesempatan itu datang dengan mendadak tanpa sinyal aba-aba,
sehingga saya belum sempat mempelajari bahasa Thai.
Bahasa
itu penting, salah satunya sebagai alat komunikasi. Saya mengajar Bahasa
Inggris dan Bahasa Indonesia. Awalnya saya cukup merasa tenang karena saya bisa
menggunakan bahasa Inggris. Saat itu saya berpikir demikian karena sampai saat
ini Bahasa Inggris adalah English
International Language dan sebagai Lingua
Franca. Artinya setidaknya mereka dapat menggunakan bahasa Inggris meski
sekedar Inggris Pasif.
Hari
kedua saya di Negeri Gajah Putih saya sudah dipanggil oleh Guru Besar di
Mulnithi Chumchon Islam Seuksa Foundation School Thailand. Saya diberikan
rambu-rambu untuk menjadi Guru di sekolah tersebut. Di meja tanpa diameter saya
duduk diantara pengajar senior dan Guru Besar di sana. Akhirnya kesempatan saya
menjadi Guru di Negeri Gajah Putih diputuskan mengajar di tingkat SD, SMP dan
SMA.
Sekali
lagi, semua tidak seperti yang direncanakan. Tuhan memahamkan saya dengan long life education. Saya harus
mempelajari bahasa Thai, karena mereka lebih banyak tidak mengerti akan bahasa
Inggris. Kendala pertama saya adalah bahasa. Seperti yang telah saya peroleh
semasa kuliah, saya ingat bahwa sebagai Guru terlebih dahulu kita harus masuk
ke dunia anak didik kita untuk mengenal dan memahami lebih jauh dan selanjutnya
barulah memperkenalkan atau mengajak mereka ke dunia kita untuk
mentransformasikan ilmu dan pengetahuan.
Saya
mempelajari bahasa Thai sedikit demi sedikit dimulai dengan pronounciation Phasa Thai. Semuanya
dilakukan secara bertahap. Saya belajar pronounciation
dengan berbincang atau membuka obrolan dengan anak-anak. Selalu ingat bahwa
kita bisa memperoleh ilmu dan pengetahuan dari siapapun, maka dari sekarang
singkirkanlah sesuatu yang bernama “gengsi”. Jika anda ingin maju dan
berkembang, lupakanlah “gengsi” karena tidak memberikan dampak apapun selain
menutup kesempatan untuk mengupgrade kualitas
diri. Di Thailand Guru dipanggil dengan sebutan Kru, Achan, Guru dan Kak (bagi
Guru Melayu).
Perjalanan
saya menjadi Guru di Negeri Gajah Putih saat itu saya tengah menjadi mahasiswa
semester 6 di Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya. Memiliki
keinginan semakin kuat dengan di motivasi oleh Ketua Prodi PGSD Universitas
Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya, Dindin Abdul Muiz L., S.Si., S.E.,
M.Pd. dan diberi peluang oleh Ketua Prodi PGPAUD yang pada saat itu sebagai
Pembimbing Akademik saya, Drs. Edi Hendri, M.Pd. untuk dapat melakukan
penelitian Tugas Akhir Strata 1 di Negeri Gajah Putih. Pada awal Juni 2015
secara resmi menjadi Duta Perguruan Tinggi Indonesia dari Universitas
Pendidikan Indonesia dan melaksanakan kegiatan mengajar sebagai bagian dari KKL
dan PPL difasilitasi oleh Edutech Consultant.
Menjadi
Guru pada realitanya tidak mudah. Karena menjadi Guru bukan bekerja melainkan
mengabdi. Perlu kesabaran dan totalitas karena menjadi Guru bukan sekedar
mentransformasikan ilmu, tapi juga mendidik. Jika anda menjadikan Guru dengan
tujuan bekerja untuk memperoleh kepingan rupiah, sebaiknya rubah mindset tersebut. Karena menjadi Guru
bukan sekedar profesi tapi mengabdi, sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 20
Tahun 2003.
Kak, pengen nanya nanya dong tentang pengalaman kakak menjadi guru di Thailand
ReplyDelete